Kilas: Bisnis Seks Diperbatasan Indonesia-Malaysia

Keheningan pagi di kantor penghubung konsulat Jenderal Republik Indonesia di Tawau, Sabah, pecah oleh raungan tangis dua perempuan muda, awal Januari lalu. 

Dengan tergopoh-gopoh, Makdum Tahir, Konsul Indonesia di sana, segera menemui Ratna dan Tuti (bukan nama sebenarnya).

Sambil sesenggukan, kedua tamu tak diundang itu meminta perlindungan dari sindikat penjual perempuan yang berniat melelang kegadisan mereka kepada pria hidung belang. 

Kini dua gadis malang itu bersiap dipulangkan ke kampung asal mereka di Jawa Timur. Kisah sedih Ratna dan Tuti melengkapi cerita keganasan para germo, atau istilahnya "bapak ayam", di Malaysia.

Ironisnya, menurut Makdum, 90 persen germo yang menjual gadis Indonesia di Sabah berasal dari negeri sendiri. Dan kaki tangan mereka mencari korban hingga jauh ke berbagai pelosok Nusantara.

Dalam laporan tertulis yang dibuat untuk Konsulat, Ratna dan Tuti menceritakan bagaimana mereka dijebak oleh Maesaroh, kaki tangan germo bernama Darwis, yang mempunyai rumah bordil di kota kecil Keningau, dekat Kota Kinabalu.

Tragedi Ratna dan Tuti berawal di Pasar Turi, Surabaya, Desember lalu. Suatu siang, Ratna, 22 tahun, dan sepupunya, Tuti, 21 tahun, tengah asyik berbelanja di pasar itu. 

Saat melepas penat di sebuah warung kaki lima, tiba-tiba seorang perempuan berusia sekitar 30-an tahun menepuk pundak Ratna, dan dalam tempo singkat Ratna telah larut ngegosip dengan perempuan yang mengaku bernama Maesaroh itu. Padahal Ratna dan Tuti tak pernah kenal dengan wanita itu sebelumnya.

Ketika ditawari bekerja di sebuah salon di Tawau, Ratna dan Tuti seperti kerbau dicocok hidungnya. Mereka berdua ikut saja. Maesaroh bilang Kota Tawau bukan di Malaysia, melainkan di perbatasan antara Indonesia dan Sabah. 

Tanpa pamitan kepada keluarganya di Surabaya, Ratna dan Tuti mengikuti Maesaroh ke kampungnya di Donomulyo, Malang. Setelah seminggu tinggal di Malang, Ratna dan Tuti lantas naik kapal motor Kerinci meninggalkan Surabaya menuju Pare-Pare, Sulawesi.

Di sana mereka ditampung di rumah Usman, suami Maesaroh. Saat itulah seorang lelaki Bugis bernama Darwis datang menengok mereka. Dan setelah melihat paras Ratna dan Tuti, Darwis meminta kepada Usman agar mereka berdua dibuatkan paspor untuk ke Sabah.

Tepat sepuluh hari di Pare-Pare, setelah paspornya kelar, Ratna dan Tuti naik kapal ke Nunukan, Kalimantan.

Di kota kecil di ujung timur Borneo itu, Ratna dan Tuti cuma istirahat semalam di Losmen Sabar Menanti. Paginya, mereka berlayar meninggalkan Nunukan menuju Tawau lewat Pelabuhan Tunon Taka. 

Sejam berlayar, mereka tiba di Tawau. Dengan bus ekspres Saerah, mereka dibawa dari Tawau ke Kota Kinabalu, dan dengan mobil esok harinya mereka dikirim ke Keningau.

Mereka tinggal di rumah Darwis, di Taman Mutow nomor 14, Keningau. Karena saat itu polisi Malaysia gencar merazia praktek prostitusi, Darwis menyembunyikan Ratna dan Tuti ke rumah rekannya di Keningau. 

Setelah seminggu, razia polisi tak kunjung reda. Karena merasa tak aman, Darwis mengirim Ratna dan Tuti ke Tawau kembali. Di sana mereka disekap di Motel Azura.

Saat Maesaroh keluar motel untuk mencari pria hidung belang, kesempatan itu dipakai Ratna dan Tuti kabur ke kantor Konsulat Jenderal Tawau. 

Cerita lebih mengenaskan dialami Desi, gadis Kediri berusia 21 tahun. Ia mengaku sempat diperbudak Darwis tiga bulan. Mirip dengan Ratna dan Tuti, Desi dibujuk oleh kaki tangan Darwis yang mengaku bernama Yeni? kemungkinan nama lain dari Maesaroh.

Sekitar September tahun lalu, Desi diiming-imingi bekerja di sebuah restoran di Sabah dengan gaji besar. Sehari kemudian, Desi dan Yeni naik bus dari Kediri ke Surabaya, kemudian berlayar menuju Nunukan. 

Tiba di sana, Desi dititipkan kepada Rahman, rekan Yeni. Lelaki inilah yang mengurus paspor Desi. Gilanya, paspor Desi siap cuma dalam beberapa jam.

Malamnya, dengan dikawal Rahman, Desi berlayar menuju Tawau. Setelah itu, janda satu anak itu meneruskan perjalanannya ke Keningau. 

Esoknya, Desi diserahkan kepada Darwis di sebuah hotel kota itu. Saat itu Desi belum sadar bahwa dirinya telah masuk perangkap. Tiga hari kemudian, barulah Desi paham ketika seorang lelaki Melayu memintanya melayani nafsu syahwatnya. Ia mencoba berontak saat itu.

Toh Desi tak kuasa melawannya. "Saya sudah bayar pada bapak ayam kamu. Ayo, layani saya," kata si lelaki. Setelah diperkosa, Desi hanya diberi duit 20 ringgit atau sekitar Rp 40 ribu. Sejak itulah Darwis memaksa Desi melayani nafsu seks empat hingga lima lelaki setiap harinya. Jika menolak, ia disekap dan tak diberi makan atau minum, sampai Desi menyerah.

Akhirnya, sejak September lalu, Desi dipaksa melacur tanpa dibayar sesen pun. "Saya hanya diberi makan," katanya. 

"Tak pernah diberi uang oleh bapak ayam." Darwis mengatakan, Desi harus membayar ongkos perjalanan yang dulu dikeluarkan untuk membawanya ke Keningau sebesar 4.000 ringgit atau sekitar Rp 8 juta. Setelah utang itu lunas, barulah Desi boleh menerima duit dari tamunya.

Menyadari kenyataan pahit itu, Desi cuma bisa menangis setiap malam. Karena tak tahan lagi, awal Januari lalu Desi mencoba lari. Namun, dia kepergok dan tertangkap. Desi kemudian dikurung di kamar sempit dan pengap. 

Untungnya, Desi tak putus asa. Suatu hari, seusai melayani tamunya di Hotel Sri Menanti, ia melihat kesempatan untuk lari dari lubang pembuangan selebar badan manusia di kamar mandi.

Lewat pipa itulah Desi lantas berhasil kabur dan setelah naik bus selama 10 jam dia mencapai kantor Konsulat Jenderal di Tawau. Berkat bantuan Konsul, kini Desi sudah berada di Nunukan dan bersiap pulang ke Kediri. 

Menurut Gadis Arivia, aktivis pembela hak-hak wanita dari Jurnal Perempuan, ada banyak modus untuk menjerat para korban. Selain memakai ilmu gendam (semacam hipnotis) seperti dialami Ratna dan Tuti tadi, ada modus operandi lain.

Desember lalu Arivia menelusuri perdagangan perempuan di perbatasan Kalimantan Barat hingga Serawak. 

Di Kota Entikong, Kabupaten Sanggau, ia melihat langsung para calo merayu gadis belia dan orang tuanya agar rela melepas anaknya bekerja sebagai pembantu di Serawak. Arivia menemukan anak berusia 12 tahun yang dapat dibujuk. Mirip di Nunukan, cukup dengan duit Rp 800 ribu gadis kecil itu bisa mendapat paspor dan KTP "aspal" di Sanggau.

Paling lama dua jam. Setelah itu, si calo mengantar gadis belia ke perbatasan. Di kantin sekitar Kantor Imigrasi Tembedu, kota di perbatasan Serawak, para agen pembantu asal Malaysia telah menunggu. 

Selain mendapat ganti biaya paspor, si calo mendapat upah sekitar Rp 600 ribu per anak dari agen. Dari jumlah itu, para calo memberi orang tua si gadis sekitar Rp 200 ribu.

Soetrisno, seorang calo di Entikong, mengaku mampu membawa 50 hingga 200 gadis belia setiap harinya. 

Dan bayangkan, dalam sehari Soetrisno mampu membawa pulang Rp 20 juta. Ironisnya, Arivia menemukan ada orang tua yang menjual anak gadisnya sendiri. Menurut penuturan Soetrisno, hal ini semakin sering terjadi sejak krisis menghantam Indonesia pada 1997 lalu.

Penderitaan lain yang sering menimpa para gadis itu terjadi bila si majikan atau agen nakal. Contohnya adalah yang dialami Rani, 20 tahun. Sejak tiga tahun lalu, ia bekerja di Serawak sebagai pembantu rumah tangga. 

Tiga bulan sebelum kontraknya habis, Rani dipacari seorang pemuda?yang belakangan diketahui sebagai orang suruhan seorang agen penjual wanita bernama Aseng.

Tak lama kemudian, pemuda itu mengajak Rani menikah. Tentu saja Rani girang. Tapi, saat kandungannya menginjak tiga bulan, si pemuda raib entah ke mana. 

Padahal kontrak kerja Rani telah habis. Belum lagi surat nikahnya ternyata palsu. Pada saat kepepet begitu, Rani memilih tetap bekerja pada majikannya, walau tanpa dibayar. Sebab, jika menolak, Rani diancam bakal dilaporkan ke polisi sebagai pekerja gelap.

Saat itu dengan licik Aseng si agen penjual wanita menawarkan diri untuk membantunya: mempekerjakan pada seseorang bernama Tante Bong. Tak tahu maksud buruknya, Rani menerima. 

Padahal Tante Bong ini nantinya berniat menjual anak yang dikandung Rani. Hal itu diketahuinya dari sesama penghuni yang disekap. Ibu si bayi biasanya diberi duit Rp 5 juta.

Untungnya, dua minggu sebelum anaknya lahir, polisi Malaysia menggerebek rumah Tante Bong, sehingga Rani dan bayinya selamat. 

Baik gadis Arivia ataupun Makdum Tahir mengatakan penyebab maraknya perdagangan perempuan dan anak dari Indonesia ke Malaysia itu adalah lemahnya penegakan hukum di perbatasan kedua negara. Bahkan, menurut seorang pejabat imigrasi Malaysia, ironisnya ada aparat polisi dan imigrasi yang terlibat dalam perdagangan manusia ini.

 "Di perbatasan negeri Anda itu banyak sampahnya," katanya, "Masa, gadis umur 12 tahun bisa dapat paspor." Tapi, baik Wakil Bupati Nunukan Kasmir Foret maupun Kepala Imigrasi Sinar Ritonga membantah keras keterlibatan bawahannya.

 "Jika ada aparat pemda yang terlibat jaringan bapak ayam, bawa ke pengadilan, akan saya pecat," kata Kasmir. Menurut Gadis Arivia, tak ada jalan lain untuk memberantas sindikat penjualan manusia ini kecuali membenahi pemerintahan.

"Tak ada jalan lain, pemerintah harus memberantas korupsi di lingkungan imigrasi, kepolisian, dan aparat pemerintah daerah yang ada di perbatasan. 

Sehingga penegakan hukum dapat berjalan," katanya. Makdum Tahir sependapat. "Sebagian besar germo di Sabah itu warga negara Indonesia," katanya. "Pemerintah mesti menindak tegas mereka yang terlibat dalam jaringan ini.

" Mengingat korban-korban telah berjatuhan, Arivia berharap pemerintahan Megawati bisa mengambil langkah konkret. "Toh, Ibu Mega juga perempuan. Saya kira beliau memahami perasaan para korban." | Tulisan ini telah dimuat majalah Tempo edisi 10 Februari 2003
Share this post :

Posting Komentar

 
>> Copyright © 2012. AchehPress - Informasi dan media - All Rights Reserved
Template Created by Author Published by Blogger
Powered by Google